Padangsambian Klod, DENPOST.id
Meski masih sebatas usulan oleh DPR RI, Rancangan Undang-Undang tentang larangan mengonsumsi minimum beralkohol (mikol) menuai kontroversi masyarakat Bali. Praktik larangan itu bahkan dipandang tak cocok diterapkan di Bali, sebagai daerah yang mengelola jasa pariwisata secara masif.
“Seandainya kebijakan ini lolos, sangat bertentangan dengan pariwisata. Karena pariwisata tampa mikol sama dengan makanan tanpa garam,” kata I Made Ramia Adnyana, Wakil Ketua Kadin Provinsi Bali Bidang Pariwisata. Itu dia katakan saat ditemui Sabtu (14/11/2020) di kawasan Padangsambian Klod, Denpasar Barat.
Bahkan, kata dia, kebutuhan mikol golongan A, B, dan C di Bali yang mencapai 12 juta liter per tahun belum terpenuhi. Saat ini, kebutuhan itu hanya terpenuhi 7 juta liter per tahun. “Jadi ada kekurangan 5 juta liter Mikol untuk kebutuhan pariwisata di Bali,” sambungnya, yang saat itu menghadiri Munaslub Asita DPD Bali.
Larangan tersebut juga dipandangnnya bertentangan dengan esensi Pergub Bali No. 1 Tahun 2020 tentang tata kelola minimum fermentasi atau destilasi khas Bali, seperti arak, yang termasuk Mikol golongan C. Bukan saja memenuhi kebutuhan Mikol di Bali, Pergub itu juga menggerakkan perekonomian petani arak.
Ramia menilai, melalui regulasi itu Bali mampu menjadikan arak sebagai minimum traditional Bali menjadi spirit ketujuh dunia. “Saya kira kami tidak sependapat dengan wacana tersebut (RUU larangan mengonsumsi Mikol). Kami di Bali ingin tetap ada pengecualian, bahwa Mikol ini tidak negative investment di Bali,” terangnya.
Pihaknya terus berupaya menyuarakan hal tersebut. Dia berharap pemerintah pusat dapat mempertimbangkan situasi di Bali, agar Mikol, terutama minimum traditional seperti arak, tetap dapat dikonsumsi oleh wisatawan. Sehingga arak dapat menempati posisi setara dengan minimum golongan lainnya. (106)