Sumerta, DENPOST.id
Membuat kebijakan makroprudensial merupakan salah satu tugas utama bank sentral atau Bank Indonesia (BI). Itu, menjadikan BI wajib memetakan potensi resiko gangguan sistem keuangan.
Hal itu, dibahas Deputi Kepala Perwakilan wilayah Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali, Rizki Ernadi Wimanda, dalam acara Capacity Building Media, Kamis (20/5/2021).
Dia menyebut prinsip kehati-hatian dalam skala makro yang dimiliki Bank Indonesia berlaku untuk semua bank. “Misalnya ditetapkan nilai tukar rupiah sebesar Rp14.500, maka di bank apapun akan sama, jadi agregat. Sehingga, resiko yang ada di tingkat individual bisa terabaikan,” kata Rizki.
Kata dia, kebijakan makroprudensial kebalikan dari kebijakan mikroprudensial yang hanya mengarah pada individu perbankan. Fungsi tersebut, dilakukan oleh pemerintah.
Ada empat poin di dalam kebijakan makroprudensial, yakni adanya resiko pada aktivitas bisnis di sistem perbankan, inovasi produk keuangan yang bermunculan disertai potensi resiko baru, perilaku ambil resiko yang berlebihan dengan mengabaikan ketidakseimbangan di bidang keuangan dan keterhubungan sistem keuangan.
Organisasi Bank Indonesia, sebagai bank sentral diberikan kewenangan sebagai pengambil kebijakan makroprudensial oleh lembaga keuangan dunia IMF. Rizki menjelaskan, bank sentral memiliki pengalaman dalam menganalisis dan mengidentifikasi resiko.
Selain itu, bank sentral adalah otoritas moneter yang memberikan umpan balik antara sistem keuangan dan mikro ekonomi secara keseluruhan dan otoritas sistem pembayaran, serta memiliki jaringan yang luas. “Pada saat nilai tukar tergoncang, Bank Indonesia sudah memiliki swap lines (pertukaran dolar darurat) dengan bank sentral lain seperti Central Bank of China atau Fedres di Amerika,” jelas Rizki. (106)
