NI Nyoman Sukerti, sudah 6 tahun ini menjadi akseptor (orang yang mengikuti program KB) dengan metode IUD. Sukerti memutuskan ikut program KB karena kebetulan dia dan suaminya, I Made Jagra, sudah dikaruniai seorang putra dan seorang putri. “Kami memang mengatur jarak lahir kedua anak kami. Beda usia yang sulung dengan adiknya 4 tahun. Setelah anak kedua kami berusia 2 tahun, saya dan suami sepakat program KB,” terang warga yang tinggal di kawasan Jalan Cekomaria, Denpasar, Bali itu, saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.
Awalnya Sukerti bingung menentukan alat kontrasepsi apa yang aman untuknya. Kendati dia mengaku sudah mencari informasi terkait alat kontrasepsi di internet, namun hal itu tak cukup memuaskannya. Dia dan suami kemudian memutuskan untuk langsung ke praktik bidan tak jauh dari tempat tinggalnya. “Waktu itu saya langsung konsultasi dengan bidannya. Dari bidan saya mendapat informasi detail mengenai berbagai alat kontrasepsi berikut kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena faktor risiko yang lebih kecil dan jangka waktu penggunaan yang cukup panjang, saya akhirnya memilih IUD. Kebetulan memang cocok dan saat ini saya sudah pasang untuk keduakalinya,” ungkapnya.
Bila Sukerti mendapat informasi cukup lengkap perihal metode kontrasepsi, tak demikian dengan Ni Ketut Nur. Ibu satu anak ini mengaku tidak mendapat informasi yang detail ketika akan memutuskan ikut program KB. Dia pun enggan bertanya lebih jauh kepada tenaga kesehatan yang menanganinya ketika itu. “Saya pilih saja pil KB, soalnya tidak terlalu ribet. Tapi memang ada dampaknya, kulit wajah saya muncul hitam-hitam, flek. Belum ada setahun saya KB, akhirnya saya putus. Sekarang saya pakai sistem kalender saja,” ucapnya tersipu.
Dari pengalaman kedua perempuan tersebut, informasi mengenai metode kontrasepsi memang penting disampaikan sebelum seseorang memutuskan untuk ber-KB. Ada hak-hak perempuan yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi. Karenanya, untuk memastikan seorang perempuan menggunakan alat konstrasepsi yang tepat, informed choice harus didapatkan sebelum mengambil keputusan.
Apa itu informed choice? Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. dr. Meiwita Paulina Budiharsana, dalam pertemuan ilmiah dengan tema “Memperkuat Kebijakan dan Strategi Implementasi Program KB-KR Berdasarkan Data dan Kajian Ilmiah” memaparkan, informed choice adalah jika perempuan klien KB bisa mendapatkan metode KB yang paling cocok untuk kebutuhannya setelah menerima informasi lengkap terkait semua alat kontrasepsi, baik metode, alat, efek samping atau komplikasi serta apa yang harus dilakukan ketika mengalami efek samping atau komplikasi tersebut.
“Proses ini merupakan keharusan, karena inilah jantung daripada Hak Kesehatan Reproduksi (HKR). Membuat keputusan berdasarkan informasi yang lengkap adalah ukuran atau indikator dari program KB yang berkualitas, karena ini merupakan prinsip dasar dari kesehatan reproduksi,” terangnya dalam pertemuan secara virtual yang digagas Pusat Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gajah Mada bersama Rutgers WPF Indonesia dan didukung Konsorsium “A Champion of Indonesia Family Plannning and Reproductive Health” itu.
Lebih lanjut dikatakan, dengan mendapatkan informasi detail, secara tidak langsung juga menunjukkan seberapa jauh baik atau buruk penyelenggara dalam hal ini tenaga kesehatan (nakes) dalam mengomunikasikan informasi terkait alat kontrasepsi berikut peluang komplikasi atau efek samping yang mungkin terjadi. “Informasi ini yang akan menjadi pegangan bagi klien ketika sudah menentukan menggunakan alat kontrasepsi yang mana,” katanya.
Indikator informasi pilihan ini terlaksana dengan baik atau tidak, bisa dilihat dari masa putus pakai alat kontrasepsi. Hal inilah menurut Meiwita patut menjadi perhatian bersama. Pasalnya berdasarkan data penelitian yang diperolehnya, sekitar sepertiga atau sekitar 29 persen akseptor sudah melakukan putus pakai dalam waktu 12 bulan sejak mengawali memakai KB. “Jadi, berarti yang putus pakai sebelum satu tahun itu cukup besar jumlahnya. Alasannya ada yang takut sama efek samping atau side effect atau khawatir dengan gangguan kesehatan yang lain. Sebetulnya rasa takut ini sudah bisa diatasi waktu terjadi komunikasi antara nakes dengan klien KB,” paparnya.
Dalam kesempatan tersebut, Meiwita juga memaparkan Analisa informed choice
tahun 2012 dan 2017. Dikatakannya, untuk umur yang paling banyak mendapat informasi sebelum menentukan pilihan adalah kelompok usia 25-34 tahun. Implikasinya, lanjut Meiwita, kesempatan mereka yang muda usia (di bawah 25 tahun tapi sudah menikah) mendapat informasi lebih kecil dibandingkan yang usia 25-34 tahun. “Masih ada diskriminasi umur. Mungkin yang muda karena tidak tahu harus menanyakan apa, jadi ya memberitahunya juga asal-asalan. Demikian juga usia yang di atas 34, karena mungkin dianggap sudah berpengalaman, jadi tidak perlu mendapat informasi lengkap,” katanya.Selain faktor usia, perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi, lebih banyak mendapatkan informasi terkait alat kontrasepsi dari nakes ketimbang yang berpendidikan rendah. Sementara berdasarkan tempat tinggal, mereka yang tinggal di wilayah perkotaan dikatakan mendapatkan lebih banyak informasi sebelum memilih metode kontrasepsi.
“Dari sisi informasi, pengaruh surat kabar masih lebih tinggi dibandingkan radio atau televisi. Masih banyak yang terpengaruh dari apa yang mereka baca daripada dari apa yang mereka lihat atau dengar. Mungkin karena radio atau TV lebih jarang memuat hal-hal tentang KB,” ulas Meiwita.
Terkait sumber informasi, persentasi yang mendengar tentang KB dari nakes rupanya cukup besar yakni 40 persen dan 35 persen. “Ini sebetulnya bisa dimobilisasi lebih tinggi. Sumber informasi metode KB untuk analisa kami adalah nakes berpraktik swasta atau di tingkat pelayanan dasar. Jadi, bidan dan dokter praktik swasta berperan cukup besar dalam memberikan informasi dibandingkan dengan layanan kesehatan publik seperti puskesmas,” imbuhnya.
Yang tak kalah menarik, lanjut Meiwita, mereka yang mendapatkan informasi detail adalah mereka yang memilih menggunakan kontrasepsi IUD atau spiral. “Menurut saya, mungkin kelompok yang memilih IUD ini lebih cerdas, sehingga mendapat informasi lebih baik ketika berkonsultasi,” ujarnya.
Di akhir pemaparannya, Meiwita mengungkapkan, berdasarkan analisa dan penelitian, lebih dari 70 persen pengguna KB tidak mendapatkan informasi yang cukup. Dia berharap, lewat pertemuan ilmiah ini bisa menutup kesenjangan dalam memperoleh informasi berkaitan alat kontrasepsi, sehingga ke depan program KB di Indonesia bisa terlaksana maksimal dan hak-hak reproduksi perempuan dapat terpenuhi.
Sementara itu, Penanggung Jawab Penyelenggara Pertemuan Ilmiah Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KB-KR) yang juga menjadi pembicara kunci, Prof. Dr.dr. Siswanto Agus Wilopo, mengatakan, suksesnya pelaksanaan program KB juga menyangkut akses pelayanan yang mudah dijangkau baik dari segi waktu maupun biaya. “Ini tekanannya pada kemudahan seseorang untuk mendapatkan pelayanan, mendapatkan kontrasepsi yang sesuai dan melanjutkan penggunaan kontrasepsi. Ini berlaku di setiap titik layanan, baik itu di klinik, komunitas, dokter praktik swasta dan lain sebagainya,” urainya.
Mengingat dalam pelaksanaan KB harus menekankan pada hak-hak reproduksi, lanjut Siswanto, maka ada beberapa poin yang perlu menjadi perhatian. “Pilihan terhadap metode kontrasepsi harus menjamin bahwa jumlahnya mencukupi termasuk alat pendukungnya. Sering dijumpai di lapangan, ketersediaan berlebih untuk jenis tertentu misalnya kondom atau pil, tetapi terbatas pada jenis IUD atau implant,” katanya.
Lebih jauh dijelaskan, pilihan metode juga membutuhkan alat-alat yang mendukung pemasangan alat kontrasepsi. Karenanya service provider atau tenaga kesehatan diharapkannya mampu memberikan pelayanan secara aman dan memastikan mereka bekerja taat pada standar kedokteran dan juga pencegahan infeksi. “Ruangan harus terjamin, terutama menyangkut privasi klien. Pertukaran informasi mengenai metode yang diinginkan klien harus berdasarkan informasi dari klien atau pertimbangan keluarga. Ini juga harus disertai pemberian informasi di luar metode yang dipilih oleh klien, lengkap dengan informasi efek samping, juga apa yang harus dilakuan jika terjadi efek samping,” tegasnya.
Lebih detail menyangkut privasi, Siswanto menekankan agar para service provider bisa menjadikan klien sebagai seseorang yang memiliki harga diri dengan memberikan layanan yang baik untuk menjamin hak-hak reproduksi dari klien. “Untuk itu perlu diberikan training kepada semua service provider agar pilihan metode yang diberikan kepada klien betul-betul berdasarkan standar yang baik, apakah itu menyangkut informasi untuk memastikan efektivitas metode yang dipilih, kunjungan ulang, kemungkinan dilakukan pergantian metode dan menghormati kerahasiaan informasi klien,” pungkasnya. (suryaningsih)
Posting ini diterbitkan pada Rabu, 30 Juni 2021 09:53
Tinggalkan Komentar