
Singaraja, DENPOST.id
Lahan Eks Puri Sanih di Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan seluas 55 are kini jadi rebutan antara pemohon Hak Guna Bangunan (HGB) dan Desa Adat Yeh Sanih. Setelah beberapa kali mediasi, pihak BPN akan melakukan pengukuran secara sporadik dari pemohon HGB. Namun rencana itu gagal lantaran ada penolakan dari pihak prajuru dan krama Desa Adat Yeh Sanih.
Kelian Desa Adat Yeh Sanih, Jro Made Sukresna, mengatakan, lahan yang berlokasi di sebelah timur Daya Tarik Wisata (DTW) Kolam Renang Alam Air Sanih itu adalah murni milik Desa Adat Yeh Sanih.
“Kami menolak pengukuran, karena secara aturan HGB, pemohon lain (pengelola Eks. Hotel Puri Sanih-red) terlambat mengajukan permohonan perpanjangan HGB. Kami sebenarnya sudah mengajukan permohonan, cuma dari BPN sama sekali tidak mendapat jawaban, kemudian pengukuran itu ada. Itu intinya sehingga kami menolak pengukuran yang dimohonkan oleh pihak lain,” ungkapnya Selasa (18/1/2022).
Kelian Adat yang akrab disapa Jro Cilik ini menegaskan bahwa dari hasil pertemuan disepakati permasalahan lahan ini dilakukan melalui jalur hukum. Penyelesaian melalui jalur hukum menurutnya dilakukan karena pada areal yang dimohon terdapat 2 pelinggih yakni pelinggih Tirta Sudamala dan tempat melasti. “Dalam proposal juga sudah kami tulis desa adat yang menggunakan tempat melasti tersebut yakni Desa Adat Bukti, Yeh Sanih, Depehe, Batur dan Bulian. Astungkara perjuangan kami tercapai, lahan itu tidak digunakan bisnis, hanya dipakai untuk kegiatan adat dan agama,” tegasnya.
Sementara itu, I Nyoman Ardana, S.H., selaku kuasa hukum dari Ngurah Aria selaku pengelola Eks. Hotel Puri Sanih menyatakan mengapresiasi dan menghormati penolakan pengukuran yang dilakukan Desa Adat Yeh Sanih. “Selaku kuasa hukum dari pemohon kami menghargai upaya mediasi dan jalur hukum yang akan ditempuh dalam penyelesaian persoalan ini. Namun kami masih berdiskusi dengan klien kami. Karena yang kami lakukan sekarang ini bukan lagi perpanjangan HGB, tetapi sudah dalam proses hak milik karena sudah diurus sejak lama sesuai prosedur yang ada,” jelasnya.
Dia pun memperlihatkan sejumlah berkas terkait sejarah lahan eks HGB Tahun 1976 atas nama GINZA yang dikelola Made Gintaran Saputra dan dialihkan kepada Ketut Surya Mataram dengan sertifikat HGB dari tahun 1985 sampai dengan 2005. “Sebelumnya proses permohonan terhambat karena sertifikatnya masih ada di pihak ketiga dan sekarang sertifikat itu sudah kami pegang untuk melanjutkan proses selanjutnya,” katanya. Dia pun berharap, proses ini bisa berjalan dengan aman dan lancar tanpa ada permasalahan yang mengganjal serta gesekan dengan pihak manapun. (118)