
TAK hanya menggaungkan pariwisata, budaya, dan hasil kerajinan UMKM Bali, Wakil Ketua BKSAP DPR RI, Putu Supadma Rudana, juga memperkenalkan kearifan lokal perayaan hari suci Nyepi di Bali di hadapan peserta Sidang ke-144 IPU di Nusa Dua, yang dihadiri 155 negara, belum lama ini.
Menurut Putu Rudana, Nyepi merupakan salah satu solusi untuk menjawab dan menghadapi tantangan global menyangkut perubahan iklim. Dia menambahkan Bali sebetulnya memiliki kearifan lokal yang bisa memberikan kontribusi atau menjawab tantangan global untuk menghadapi isu climate change (perubahan iklim) yang berhubungan dengan lingkungan. Hal itu karena Bali memiliki filosofi Tri Hita Karana yakni hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Pencipta. “Konsep Tri Hita Karana yang berhubungan dengan hari suci Nyepi, bahwa itu korelasinya ke earth hour. Kalau itu (earth hour) kan hanya jam. Kalau hari Nyepi di Bali kan 24 jam. Artinya itu suatu gagasan yang luar biasa,” tegasnya, Minggu (20/3) malam.
Selain itu, Putu Rudana mengatakan ada lagi kearifan lokal yang berhubungan dengan alam yakni subak. Menurut dia, jika dibandingkan dengan nuklir yang berbahaya, itu energi yang tidak sustainable. Sedangkan subak mengelola air mengalir dari gunung ke laut melalui sungai atau sawah justru sangat sustainable karena bersinergi dengan alam. “Nah filosofi-filosofi ini kearifan lokal tentu sudah kita suarakan dan kita tunjukkan kepada mereka, bahwa ini sebetulnya bisa memberikan kontribusi atau menjawab tantangan global untuk menghadapi isu climate change yang berhubungan dengan lingkungan,” jelas dia.
Tentu, lanjut Putu Rudana, hal ini perlu juga digali kearifan lokal dari negara-negara lain atau daerah lain untuk disatukan sebagai solusi menghadapi tantangan global terhadap perubahan iklim. Memang sebetulnya sudah ada, tapi sekarang bagaimana menggerakkan semua pihak agar berkomitmen sama-sama melaksanakannya. “Bagaimana rakyat, negara atau pemerintah dan parlemen, turun langsung berkontribusi mengawal isu perubahan iklim yang menjadi tantangan ke depan. Sekarang isu perubahan iklim memang isu yang nyata dan betul-betul kritis, serta memberikan dampak begitu besar terhadap kehidupan manusia,” ungkapnya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan tantangan yang dihadapi global ke depan tidak semakin mudah tetapi makin sulit. Menurut dia, ada suatu tantangan yang paling berbahaya jika tidak dilakukan bagi parlemen seluruh dunia yaitu perubahan iklim. “Jangan melupakan bahwa kita menghadapi suatu hal yang mengerikan kalau kita tidak berani memobilisasi kebijakan-kebijakan, baik di parlemen baik maupun pemerintah yaitu perubahan iklim,” tegas Jokowi.
Menurutnya, perubahan iklim sering dibicarakan dan diputuskan dalam pertemuan global, tapi aksi lapangannya belum kelihatan. Misalnya transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT), dari energi batu bara ke renewable energy. “Kelihatannya mudah, tapi praktiknya sesuatu yang sulit di lapangan utamanya bagi negara berkembang,” jelas dia.
Menurut Presiden, hal yang perlu dibicarakan adalah pendanaan iklim harus segera diselesaikan. Kedua investasi dalam energi baru terbarukan, dan ketiga transfer teknologi. “Kalau ini tidak riil dilakukan, sampai kapan pun saya pesimis yang namanya perubahan iklim betul-betul tidak dapat kita cegah. Kalau itu hanya kita bicarakan dari tahun ke tahun dan tidak ada keputusan, saya pesimis bahwa namanya perubahan iklim tidak bisa kita cegah sama sekali,” tandas Jokowi. (yad)