
Bangli, DENPOST.id
Berada di wilayah perbatasan dan dimiliki dua kabupaten, yakni Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Bangli, rupanya Desa Nyanglan secara selaras dan harmonis sama-sama mampu menjalankan satu tradisi di kedua wilayah.
Di mana setiap hari raya Galungan, Desa Nyanglan menjalankan tradisi berupa Ngejot dan Natab Banten Kumara yang diperuntukkan bagi anak pertama yang baru lahir dengan rentang usia di bawah enam bulan (penanggalan bulan Bali).
Desa Nyanglan sendiri terbagi menjadi tiga banjar, yakni Kaja (utara), Tengah dan Banjar Kelod (selatan). Dua banjar, di antaranya Kelod dan Banjar Tengah, masuk wilayah Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Sedangkan Banjar Kaja, masuk wilayah Desa Bangbang, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli. Meski secara kepemerintahan diatur pemerintahan yang berbeda, yakni Pemkab Bangli dan Pemkab Klungkung, namun dalam urusan adat dan tradisi, ketiga banjar ini menjalanlan tradisi yang sama. Bahkan ketiga banjar ini memiliki khayangan tiga yang diempon secara bersama termasuk pula setra (kuburan) desa menjadi satu tempat.
Begitupula kepengurusan adat juga menjadi satu kesatuan. Hal ini pula yang menyebabkan ketiga banjar di Desa Nyanglan selalu rukun terutama dalam menjalankan tradisi yang merupakan warisan leluhur, seperti tradisi Ngejot Banten Kumara dan Natab Banten Kumara.
Sekilas tentang makna pelaksanaan ngejot banten kumara, banten kumara berasal dari dua kata banten dan kumara, banten yang berarti “persembahan /sesajen dalam upacara agama”, sedangkan kumara adalah dewa penjaga anak-anak (anak alit). Artinya, banten kumara adalah persembahan yang ditujukan pada Dewa Kumara, dewa yang menjaga anak-anak. Kaitannya dengan ngejot/pemberian pada bayi, mempunyai makna ikut serta mendoakan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa agar anak yang lahir ke dunia berumur panjang dan tumbuh dengan sempurna, baik jasmani dan rohani. “Jadi kalau ada bayi yang lahir setelah melewati masa kecuntakaan hingga rentang umur 6 bulan, akan menerima banten kumara yang dijot atau diberikan oleh krama lain. Biasanya yang masih ada hubungan kekerabatan atau pun tidak,” sebut Bendesa Agung Desa Nyanglan, Jro Mangku Suanda, didampingi Bendesa Nyanglan Kaja, IB Nyoman Sutha, Kamis (9/6/2022).
Dijelaskan dia, pelaksanaan ngejot banten kumara tidak terpisah dari upacara manusa yadnya yang merupakan korban suci untuk membersihkan dan memelihara hidup seseorang. Kehidupan adalah salah satu anugrah Tuhan yang utama, karena hidup berarti berkarma (bekerja). Ngejot banten kumara yang didasarkan atas pemberian yang tulus ikhlas adalah dipandang sebagai kewajiban hidup untuk menambah karma yang baik. “Biasanya krama yang sebelumnya sempat menerima banten yang serupa sebelumnya, nanti dia sifatnya mengembalikan lagi ke yang memberi. Saling beri istilahnya. Tapi ada pula yang belum menerima jotan banten itu, tapi tetap memberikan. Ini biasanya karena ada hubungan keluarga, tetangga dan lainnya,” sambung Bendesa Nyanglan Kaja yang biasa menarikan topeng Sidakarya ini.
Setelah menerima banten dari krama lain, dilanjutkan dengan natab banten kumara oleh si anak tersebut. Biasanya yang berhak ngayabin adalah sosok yang dituakan, misalnya nenek atau nenek buyut bagi si anak tersebut. Waktu natab banten kumara dilakukan siang, setelah semua proses persembahyangan Galungan tuntas.
Seperti yang dilakukan kepada I Putu Ranggasutha Suambara. Balita dua bulan ini merupakan anak pertama dari pasangan suami istri I Nengah Ambara Yoga, dan Luh Made Sariasih, warga Banjar Tengah, Desa Nyanglan. Ranggasutha merupakan salah satu dari belasan anak di Desa Nyanglan, baik Kaja atau Tengah-Kelod yang menerima banten dan natab banten kumara saat hari raya Galungan. “Anak yang berhak menerima jotan dan natab banten kumara ini hanya anak pertama saja, baik itu laki-laki atau perempuan. Kalau anak kedua dan seterusnya tidak lagi. Makanya, ketika ada anak pertama lahir, banten yang diterima dari warga pasti banyak karena kesempatannya hanya sekali saja,” bebernya.
Selain banten kumara, juga disertai banten lainnya yang dibuatkan si pemilik rumah atau keluarga si anak berupa banten dapetan lengkap dengan sanganan jerimpen. Diyakini dengan melaksanakan tradisi ini, anak yang diupacarai akan mudah bergaul kelak jika sudah tumbuh dewasa nanti, tumbuh menjadi anak yang suputra/suputri. “Setelah ditatab, sebagian banten itu kembali dibagikan ke tetangga dan keluarga atau warga yang masih ada hubungan kerabat dekat,” jelasnya kembali.
Masyarakat Nyanglan masih sangat percaya dan sangat antusias dalam melaksanakan tradisi ini sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan demi menjaga kesatuan dan persatuan atarwarga masyarakat setempat. Pihaknya tak bisa menyebut secara pasti sejak kapan diberlakukan tradisi Ngejot dan Natab Banten Kumara saat Galungan ini. Yang jelas, pihaknya sudah mendapati begitu. “Ini warisan leluhur, sehingga sebagai generasi penerus patut melanjutkan tradisi dan budaya yang tidak berbenturan dengan norma adat dan hukum,” imbuh Jro Mangku Suanda.
Disinggung mengenai program Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang digalakkan Gubernur Bali, sebagai jro bendesa pihaknya sangat mendukung karena bagian dari pelestarian budaya Bali. Dukungan ini pula sudah dibuktikan dengan menggelar kegiatan Bulan Bahasa Bali di kedua wilayah, baik di Nyanglan Kaja maupun Nyanglan Tengah-Kelod, yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. (way)