
Sumerta, DENPOST.id
Pelajar asal Jepang berinisial FS (17), divonis bersalah terkait tindak pidana kejahatan seksual oleh majelis hakim dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa (13/12/2022). Sidang yang dipimpin Hakim Kony Hartanto tersebut, menjatuhi hukuman dua tahun penjara dan tiga bulan pelatihan kerja terhadap FS.
Putusan hakim terhadap terdakwa sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Meski demikian, JPU Ni Putu Widyaningsih menyatakan masih pikir-pikir. “Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain,” ungkap hakim dalam sidang.
Hakim Kony memaparkan tipu muslihat yang dilakukan terdakwa, yakni merayu dengan mengatakan menyukai korban. Hingga akhirnya membujuk melakukan persetubuhan di kamar mandi salah satu kafe di Jimbaran.
Hukuman yang memberatkan terdakwa, akibat perbuatannya itu, masa depan korban rusak dan menimbulkan trauma. Sementara yang meringankan terdakwa, karena masih berstatus pelajar dan mengakui perbuatannya, serta berjanji tidak mengulangi lagi.
Sementara kuasa hukum terdakwa, Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati mengaku menerima putusan hakim dan tidak melakukan banding. “Saya berharap terdakwa bisa memperbaiki diri menjadi lebih baik dan diberi kesempatan belajar, latihan kerja,” harapnya.
Sedangkan kuasa hukum korban, Siti Sapurah alias Ipung mengaku sedikit kecewa dengan putusan hakim terhadap terdakwa. Dia mengatakan kasus kejahatan seksual atau kekerasan seksual yang dulunya ada di UU Nomor 23 Tahun 2002 perubahan pertama UU Nomor 35 Tahun 2014 memang kekerasan seksual. Namun, dengan lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2016 yang menjadi UU Nomor 17 Tahun 2018, yang khusus mengatur pasal 81 tentang persetubuhan, pasal 82 tentang pencabulan, menjadi kejahatan yang luar biasa. “Di sinilah titik perbedaan penafsiran pasal. Dengan mengacu aturan tersebut, di mana kekerasan seksual telah menjadi kejahatan yang luar biasa yang memiliki batas minimum (pidana). Dengan demikian, seharusnya penanganan perkara ini tidak lagi mengacu kepada pasal 79 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak ayat 3,” tegasnya. (124)