BUDAYA patrinialis yang dianut masyarakat Bali belakangan ini semakin menajamkan perbedaan manusia berdasarkan jenis kelamin atau bias gender. Posisi perempuan yang diagungkan dalam kitab-kitab suci Hindu tampaknya hanya terhenti di kitab, di ilmu dan pelajaran, dalam takaran konsep, dan kata, belum pada laku.
Saat ini, menurut prajuru MDA Bali, Aggreni, masalah keluarga di Bali sangat tinggi. Hal ini, menurutnya, disebabkan perempuan Bali semakin berani melawan dan berani menuntut hak-haknya. Sayang, bangkitnya keberanian perempuan Bali ini berpotensi membuat anak-anak sebagai korban. Inilah yang menurut pengacara LBH APIK Bali ini merupakan dilemaTIS yang dihadapi perempuan Bali.
“Budaya Bali memanjakanlaki-laki. Pemanjaan sangat potensial mempengaruhi laki-laki Bali menjadi sosok yang lembek, tak berani bersaing dengan kekuatan besar dari luar, tetapi melampiaskan ketidakpuasannya pada kaum wanita, orang tua, anak-anak atau orang-orang sekitarnya, yang dianggap lemah, ‘ jelas Anggreni.
Pemanjaan budaya Bali pada lelaki, menurutnya, masih terlihat pada perlakuan lingkungan dan keluarga yang menyambut berlebih, dengan upacara besar jika seorang ibu melahirkan anak laki-laki. Banyak keluarga yang masih mengutamakan anak laki-laki yang dianggap sebagai kelanjutan dan pewaris keturunan. “Padahal anak perempuan kemana pun menikah tetap membawa gen kedua orangtua dan leluhurnya. Selain itu, saat orang tuanya sakit, anak perempuanlah yang bisa dengan cepat dan sigap melayaninya, karena memang sebagian besar perempuan ditakdirkan memiliki karakter feminim yang perasa,” ungkap Anggreni.
Lebih jauh ibu tiga anak, yang lulusan Fakultas Hukum (FH) Unud ini mengaku selama ini mengamati kasus-kasus yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Anggreni menengarai kasus yang terjadi berawal dari makin meningkatnya kepercayaan diri istri dalam keluarga seiring dengan pengetahuan, peran dalam masyarakat. “Ketika sang istri sukses, malah si suami yang tidak siap, merasa terancam egonya. Padahal dalam keluarga yang semestinya berlandaskan cinta, saling asah, asih dan asuh itu, siapa pun boleh sebagai pemimpin sesuai dengan situasi dan kondisi. Tentu juga dengan kemampuan,” ungkap Anggreni, tersenyum kecut.
Perjuangan perempuan Bali untuk keluarga, menurut dia, masih sangat panjang dan berliku, penuh onak. Halangan dan rintangan persamaan hak laki-laki dan perempuan di Bali semakin menghadapi tantangan besar ketika feodalisme yang seharusnya memudar di zaman modern, malah disemir dihaluskan dengan maraknya gerakan klain atau soroh dalam masyarakat.
Sayang, para lelaki Bali yang berpengetahuan dan cerdas, menurutnya Anggreni, sungkan berhadapan dengan adat-budaya dan kaumnya. Malah lebih memilih mendukung perjuangan perempuan di belakang layar. ‘’Mau tidak mau perempuan Bali harus berjuang sendiri, berani tampil ke depan untuk menyuarakan kebenaran demi keluarga, Bali, Indonesia dan kemanusiaan. Perempuan harus sabar, tangguh, cerdas dan bijak. Kesabaran dan kebijaksaan sangat diperlukan untuk menghadapi anak manja agar si anak manja mau menyadari bahwa pemanjaan adat, budaya dan agama hanya kenikmatan sesaat yang akan menjerusmuskannya pada kebodohan, pada kehancuran keluarga, negara dan peradaban’’ tandas Anggreni, mengingatkan. (ita)