DUNIA media sosial (medsos) berkembang cepat dan luas seperti tanpa batas. Pertemuan antara laki-laki dengan perempuan juga semakin terbuka, termasuk pertemuan di kalangan remaja dan anak-anak. Makin terbukanya ruang-ruang pertemuan tersebut, khususnya di kalangan anak muda, juga membuat makin maraknya masalah-masalah sosial, termasuk di antaranya masalah seks dan efek-efek yang menyertainya.
Terkait dengan kondisi saat ini, Ni Wayan Ika Ayu Rayni, yang akrab dipanggil Ika Rayni, mengatakan para remaja sangat penting diberikan pembelajaran tentang seks. “Pendidikan seks sejak dini maksudnya bukan berarti mengajari remaja untuk berhubungan seks, tapi memberikan pengetahuan kepada remaja tentang bahaya seks dan risikonya bila dilakukan dari usia remaja. Perilaku yang salah akan berpengaruh pada organ reproduksi serta pentingnya edukasi penggunaan kondom,” jelas Ika, yang pendamping di Yayasan Spirit Paramacitta.
Wanita yang bergabung di Yayasan HIV sejak tahun 2016 ini menambahkan masih sangat diperlukan teknik pendidikan/edukasi yang lebih open minded, dalam artian melihat perkembangan remaja di masa sekarang yang tidak bisa lagi diberikan kalimat “larangan”. Hal ini, menurut Ika, menjadi tantangan baru bagi orangtua dan tenaga pendidik di sekolah untuk menemukan cara atau kalimat yang pas guna mengarahkan dan membimbing para remaja. Bukan sebaliknya melarang, sehingga mengekang para remaja, yang pada akhirnya justru memancing mereka untuk berontak.
Lulusan strata S1 Manajemen Perhotelan, Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional ini bertugas sebagai pendamping Odhiv (orang dengan HIV) di Klinik VCT Merpati, RSUD Wangaya, Denpasar. Dalam menjalankan tugas, penyuka warna putih yang hobi menari ini merasakan tantangan terberat yakni mengelola perasaan, kehilangan, kesedihan, serta empati berlebih. “Sebagai pendamping, selain memberi dukungan kepada para odhiv, kami juga memberi dukungan serta edukasi bagi keluarga/orang terdekat para odhiv. Tantangan berat lainnya yakni stigma negatif yang biasanya memunculkan berbagai ketakutan. Terparah adalah ketakutan menghadapi kehidupan itu sendiri,” kata ibunda dari Anak Agung Sagung Wimbi ini.
Pengalaman yang paling berkesan yang dirasakan Ika adalah ketika mendampingi teman-teman odhiv, mulai dari mereka sakit karena tidak mengetahui status HIV-nya hingga melihat mereka bangkit kembali. “Yang membuat saya bahagia saat dapat mengajak teman-teman odhiv yang putus pengobatan dan mau berobat kembali. Melihat mereka yang bisa dan sangat diterima oleh keluarga, pasangan, dan sekitarnya,” ungkap wanita kelahiran 3 Desember 1989 yang beralamat di Penestanan Kelod, Sayan, Ubud, Gianyar ini.
Selain melakukan pendampingan, Ika mengisi waktu luangnya dengan menari, termasuk membuat konten di Tiktok. “Mumpung ada konten Tiktok, ya saya nikmati saja sambil mengikuti gerakan-gerakannya sambil melemaskan otot-otot tubuh. Tiktok bisa menjadi tempat untuk para penari dan pencipta tari untuk menampilkan tarian. Namun saat ini Tiktok banyak dicampuri dengan segala macam konten. Ada positifnya ketika mereka share konten edukasi, tapi banyak juga konten yang sangat membutuhkan bimbingan orangtua bagi anak-anak yang menonton, karena Tiktok bisa diakses semua kalangan dan isi videonya juga tidak difilter,” tandas Ika Rayni. (ita)