
DINAS Kebudayaan Klungkung kembali melakukan konservasi lontar serangkaian menyambut Hari Raya Saraswati, Selasa (16/5/2023). Berbeda dari sebelumnya, kali ini konservasi tidak hanya dilakukan terhadap 58 lontar koleksi Museum Semarajaya, namun juga 20 lontar milik masyarakat umum yang datang secara sukarela menyerahkan lontar warisan leluhurnya untuk dibersihkan.
Konservasi lontar ini dilakukan para penyuluh Bali di depan Museum Semarajaya sekitar pukul 09.00 Wita. Konservasi diawali dengan membersihkan lontar menggunakan alkohol kadar 90 persen. Lalu dioles minyak sereh untuk melenturkan kondisi lontar. Jika ada tulisannya yang mulai pudar akan diperjelas dengan menggosokan kemiri yang telah dibakar.
“Kami sebelumnya sudah melakukan sosialisasi melalui media sosial dan juga WA terkait kegiatan konservasi lontar ini. Dan antusiasme masyarakatpun cukup tinggi membawa lontarnya untuk dikonservasi,” ungkap Sekretaris Dinas Kebudayaan Klungkung, I Nengah Udayana didampingi Kasubag Museum Semarajaya, IB Wibawa.
Meski kegiatan konservasi lontar ini sudah kerap digelar, tetapi tak dipungkiri masih banyak masyarakat yang enggan untuk merawat lontar miliknya karena masih disakralkan dan juga dianggap pingit, serta tenget, sehingga tidak boleh dibuka. Padahal faktanya, mayoritas lontar yang sudah berusia ‘tua’ justru membutuhkan perawatan ekstra. Apalagi selama ini, lontar milik masyarakat kerap terkena tirta (air suci) saat diupacarai.
“Sebenarnya musuh utama lontar adalah air. Namun, lontar di masyarakat justru cukup sering terkena air,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Koordinator Penyuluh Bahasa Bali di Kabupaten Klungkung, I Wayan Arta Diptha. Walau penyuluh Bahasa Bali sudah bertahun-tahun terjun ke masyarakat, tetapi paradigma terkait lontar masih sulit diubah. Pihaknya kerap menemui pemilik lontar yang tidak mengizinkan lontarnya dikonservasi. Namun setelah dibuka, kondisi lontarnya sudah rusak.
“Ada lontar yang tidak pernah dibuka bertahun tahun karena sempat dipingitkan di Desa Kamasan. Tapi setelah dibuka sudah jadi debu dimakan rayap,” ungkapnya.
Pengalaman unik lainnya juga pernah dialami Arta Diptha bersama penyuluh Bahasa Bali lainnya. Yakni ketika hendak mengkonservasi lontar yang disungsung (disakralkan) di Pura oleh warga di Kecamatan Dawan. Lontar tersebut benar-benar tidak pernah dibuka, tetapi saat dibuka ternyata isinya lontar “Pak Adol”. Yakni sebuah bukti jual beli tanah yang berisi stempel raja.
“Warga mengira lontar yang disungsung sebuah prasasti. Tapi setelah dibuka ternyata lontar Pak Adol yaitu bukti jual beli tanah yang ada stempel rajanya. Dan, isinya juga kita sudah cek ada nama masyarakat yang sama tertulis di lontar,” katanya.
Hal-hal demikianlah yang kemudian membuat Arta Diptha bersama 58 penyuluh Bahasa Bali yang ada di Klungkung semakin termotivasi untuk mengedukasi masyarakat. Dia berharap
masyarakat mulai terbuka terkait paradigma lontar, yang dulunya biasanya warga anggap tenget dan tidak bisa dibuka karena tulah.
“Menurut kami, itu paradigma salah. Bagi kami, lontar sama seperti buku, hanya saja dulu kan tidak ada kertas, jadi ditulis di lontar,” ujarnya.
Sementara seorang pemilik lontar, Gede Sandiasa Putra, warga Banjar Minggir, Desa Gelgel, Klungkung sangat antusias membawa lontarnya untuk dikonservasi. Bahkan ia menilai kegiatan ini sangat bermanfaat sekaligus mengedukasi. Apalagi, selama ini dirinya juga tidak pernah membuka dan tahu isi lontar peninggalan di keluarganya tersebut.
“Saya baru pertama kali melakukan konservasi lontar ini. Dan, saya sangat berterima kasih dengan kegiatan ini karena bisa merawat sekaligus membuka serta mengetahui isi lontar yang sudah bertahun-tahun tersimpan di rumah,” terangnya. (wia)