
Kereneng, DenPost
Sejumlah tokoh dan pengempon pura di salah satu puri di Kota Denpasar dilaporkan ke Polda Bali terkait dugaan tindak pidana penipuan dan pemberian keterangan palsu ke dalam akta otentik. Laporan itu dilayangkan oleh Nyoman Suarsana (67) buntut sengeketa jual-beli tanah pelaba pura di Jalan Badak Agung, Sumerta Kelod, Denpasar Timur (Dentim). Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol.Stefanus Satake Bayu Setianto mengungkapkan bahwa laporan Nyoman Suarsana itu masih dalam proses penyelidikan.
Sedangkan salah satu pengempon pura, yang juga terlapor dalam kasus ini, CNBA, mengungkapkan memang ada pemeriksaan oleh penyidik Polda Bali untuk menindaklanjuti laporan Nyoman Suarsana tersebut. Dia mengakui sudah melakukan pertemuan dengan pelapor untuk melakukan mediasi, tetapi belum menemui penyelesaian.
Nyoman Suarsana didampingi penasihat hukumnya, I Made Dwiatmiko Aristianto, Kamis (23/6/2023) mengatakan 21 orang dilaporkan ke SPKT Polda Bali pada 8 Maret 2023. “Yang saya dilaporkan adalah tokoh puri dan keluarganya,” ujar Suarsana.
Menurut dia, permasalahan sengketa tanah pelaba pura itu berawal saat dia membeli dua bidang tanah, masing-masing seluas 11.671 m2 dan 6670 m2 ke pihak puri tahun 2014 lalu. “Awalnya semua berjalan lancar. Tanah seluas 11.671 m2 yang saya bayar lunas langsung mendapat SHM. Namun untuk tanah seluas 6670 m2, pihak puri mengaku bahwa sertifikatnya hilang dan masih dalam proses pembuatan,” bebernya.
Seiring berjalannya waktu, sertifkat itu tidak kunjung selesai juga, padahal sebelumnya Suarsana mengaku telah membayar uang muka hingga miliran rupiah. Lantaran curiga, Suarsana lantas menelusuri dan mencari informasi mengenai latar belakang tanah dan sertifikatnya. Hingga akhirnya diketahui bahwa tanah seluas 6670 m2 itu masih dalam sengketa. “Kami temukan tahun 1998 sempat ada gugatan dari Budhi Moeljono dengan pengempon pura dan sudah ada putusan pengadilan,” tegas Suarsana.
Menurut dia, dalam perkara itu pihak puri melakukan perlawanan hingga ke tingkat kasasi tahun 2004 dan dimenangkan oleh pihak puri. Akhirnya tahun 2014 tanah itu dijual ke Suarsana dengan mengatakan jika tanah itu tidak ada sengketa lagi. Pihak pengempon pura memperbolehkan Suarsana menjual tanah itu melalui surat rekomendasi penjualan dari Walikota Denpasar Nomor: 593/1727/PEM/teranggal 2 November 2012, dan Surat Rekomendasi Penjualan dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Kota Denpasar, Nomor: 161/Rekomendasi/PHDI-KD/2012 tertanggal 1 November 2012. Dari tanah seluas 6.670 m2 itu, pihak pengempon pura sepakat digunakan untuk jalan oleh Nyoman Suarsana sebagai pembeli seluas 1445 M2. Nyoman Suarsana hanya harus membayar tanah ke pihak pengempon seluas 5.225 m2. Suarsana menambahkan jika tanah itu dijual per are seharga Rp400 juta dengan total Rp46 miliar.
Sementara itu, CNBA mengaku sudah melakukan pertemuan dengan pihak Nyoman Suarsana untuk mediasi, tetapi belum ada titik temu. ‘’Karena damai yang kami niati, tentunya atas kedua belah pihak terkait. Nyatanya hal itu belum ketemu, sehingga saya tidak mau lanjut mengurusnya. Untuk sementara ini, para semeton menyerahkan kepada konsultan hukum. Kami belum mencari pengacara karena belum menemui ujungnya. Kami berbanyak dan kuasa damai itu diminta untuk bernegosiasi sebelum penandatanganan oleh pihak lawan. Kami tidak diberikan nego sebelum ada surat kuasa,” jelas CNBA saat dimintai konfirmasi oleh wartawan lewat telepon.
Dia berharap persoalan ini segera terselesaikan, agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan di internal keluarga puri. “Saya kenal (Pak Nyoman Suarsana) setelah ada transaksi. Kedua belah pihak sebenarnya tidak ada masalah. Ini kan karena ada pihak ketiga (pihak di Solo, Budhi Moeljono). Itu saja yang bisa saya sampaikan supaya di internal keluarga saya tidak salah,” tandasnya. (yan)