
Denpasar, DENPOST.id
Rekasadana (pagelaran) Palegongan Klasik Sanggar Sankha’ra Art, Banjar Telanga, Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Rabu (28/6/2023) pentas di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya Denpasar. Penampilan duta Kabupaten Badung ini mampu menarik perhatian pengunjung PKB. Mereka membawakan empat kesenian klasik palegongan.
Pembina Sanggar Sankha’ra Art, I Nyoman Anom Adnya Arimbawa, memaparkan, empat pertunjukan tersebut yaitu Tabuh Jagul, Legong Kuntul, Tabuh Toya Milir dan Tari Legong Lasem. Dijelaskannya, Tabuh Petegak Jagul diciptakan seniman I Wayan Lotring. “Beliau merupakan seorang penari, musisi, dan komposer andal dari Banjar Tegal Desa Adat Kuta,” paparnya.
Dikatakan Anom, Lotring dikenal sebagai seniman pembaru gamelan Bali. Karyanya bukan semata sebuah persembahan untuk memaknai upacara atau ritual-ritual tertentu, melainkan juga sebuah proses penciptaan dan penemuan diri yang menandai hadirnya ke-modern-an pada masa itu.
Jagul adalah sebuah bentuk gending dengan gaya palegongan yang di dalamnya memuat ragam kotekan yang diadopsi dari gending-gending palegongan. “Saat menyaksikan ikan hiu berlompatan di tengah samudera lepas, Lotring begitu bergejolak, terdengar nyanyian di dalam hati dan pikirannya, sehingga terciptalah gending palegongan dengan judul ‘jagul’,” katanya.
Sementara Legong Kuntul menggambarkan sekelompok burung kuntul (bangau air) yang sedang bermain-main, bercengkrama, mencari makan, dan berterbangan di tengah
sawah. Tabuh Toya Milir terinspirasi dari air yang merupakan berkah dari Sang Pencipta sebagai salah satu sumber kehidupan semua makhluk di dunia. Dalam perjalanannya, banyak hambatan yang dilalui oleh air gunung untuk mencapai muara. Air akan singgah di sungai tertahan karena batu, hal ini tentu saja mempengaruhi kecepatan dan sifat alirannya. Air bisa berubah menjadi banjir ketika tertahan, dan menjadi bandang ketika terlepas seketika dengan membawa dan menghanyutkan semua benda yang ia lintasi.
Namun, ada juga yang mengalir tenang pelan tapi pasti mengalir menuju muara. Waktu, sifat, dan bentuk aliran air tersebut pada akhirnya akan sampai di lautan sebagai muaranya.
Semuanya akan dinetralkan, melebur menjadi satu, memiliki rasa asin air laut yang sama, menjadi ombak yang berdebur ketika menghantam karang, dan menjadi rumah bagi makhluk yang hidup di dalamnya sehingga menciptakan sebuah harmoni alam yang indah.
Hal tersebut kemudian menjadi inspirasi lahirnya garapan tabuh petegak pelegongan yang diberi judul “Toya Milir” yang berarti air yang mengalir.
Pementasan terakhir adalah Tari Legong Lasem yang mengambil cerita Panji yang menggambarkan kisah cinta Prabu
Lasem yang ditolak oleh Diah Rangkesari. Prabu Lasem terus berusaha merayu Diah
Rangkesari, namun tetap ditolak. Akibat penolakan tersebut, kemudian terjadilah
peperangan. Dalam perjalanan menuju medan perang, Prabu Lasem sempat terjatuh
saat menunggangi kudanya. Selain itu, Prabu Lasem juga diserang burung gagak yang menjadi pertanda kekalahan bagi Prabu Lasem.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Bali, yang sudah menfasilitasi seniman dan pemilik sanggar untuk tampil di ajang PKB kali ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Badung yang sudah mensuport kami sehingga kegiatan kami berjalan sukses, ” ucapnya.
Dikatakan Sanggar Sankha’ra Art, aktif dari 2010 dan diresmikan 2011, dan sampai saat ini masih tetap melakukan pelatihan-pelatihan dasar tari, baik itu yang klasik maupun yang kreasi. Tapi pihaknya memang berfokus pada kesenian – kesenian klasik untuk bisa berperan sebagai pelestari seni dan budaya.
“Kebetulan di desa kami kesenian legong itu tetap dilestarikan, jadi kami sudah ikut ngayah sebagai bagian dari masyarakat desa untuk ikut berpartisipasi. Jadi, saat ada odalan atau upacara lain, semara pegulingannya tetap ngayah dan mementaskan tarian legong yang ada di desa,” pungkasnya. (a/115)