
Denpasar, DENPOST.id
Sanggar Seni Sekar Tunjung Biru, Banjar Anyar, Desa Adat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, sukses memikat penonton saat tampil dalam Rekasadana (Pergelaran) Rekonstruksi Gamelan Tua Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-45, Sabtu (15/7/2023) di Wantilan Taman Budaya Provinsi Bali. Sanggar seni di bawah asuhan I Wayan Citra ini membawakan lima tabuh rekonstruksi. Ketua Sanggar Seni Sekar Tunjung Biru, I Wayan Citra, mengatakan, kelima tabuh tersebut yakni Iyak Guang, Patra Ngiring, Patra Jaya, Sukawanti dan Perang.
Dijelaskannya, tabuh Iyak Guang, terinspirasi dari fenomena alam Desa Tanjung Benoa. “iyak” berarti arus atau sering dikenal dengan “lancut” sedangkan “guang” mengandung arti gelombang muara. Dari loloan yyak terbentuk kekuatan aliran air yang mampu menciptakan gelombang besar dan tak menentu arahnya yang sangat membahayakan bagi umat manusia, khususnya bagi para nelayan yang ada di Tanjung Benoa.
Refleksi dan eksplorasi seni melalui media gamelan angklung kelentangan ter-ide-kan dari tokoh seniman karawitan alam era 1930-an yaitu I Nyoman Kantrungan, I Wayan Raneng dan I Ketut Rampun untuk menamakan salah satu gending angklung yang diwarisi secara anonim dengan nama gending Iyak Guang. Dijelaskan pula, tabuh perang dalam tabuh angklung kelentangan yang ada di Tanjung Benoa, mengandung makna bertarung melawan ganasnya gelombang lautan dengan rasa yang las dan ikhlas mengarungi lautan. “Dalam masyarakat pesisir disebut ‘memelas’. Memelas dapat diartikan memohon kepada Hyang Kuasa untuk dimudahkan dalam lindunganNya,” paparnya.
Selanjutnya, tabuh angklung kelentangan Patra Jaya diawali dengan motif kreasi kekebyaran dengan tempo yang cukup cepat yang mengadopsi dari motif gamelan baru gong kebyar sebagai bagian kawitan. Motif ini mengilustrasikan tentang eforia atau selebrasi perayaan kemenangan para nelayan Tanjung Benoa akan hasil tangkapan ikan diperolehnya.
“Kalau Tabuh Sukawanti mengandung arti pergantian atau peralihan ke masa yang senang, riang dan bahagia. Gending angklung kelentangan klasik ini merepresentasikan tentang ilustrasi bagaimana perubahan iklim dan musim di laut. Dari musim yang buruk atau tidak baik untuk berangkat nelayan ke musim yang cerah dan baik untuk nelayan,” jelasnya.
Sementara tabuh Patra Ngiring menceritakan aktivitas para nelayan Tanjung Benoa saat melaut, yang dengan hati riang gembira mengarungi lautan untuk mencari nafkah. Tetapi karena arah target yang mereka tuju berlawanan dengan arah angin, maka mereka memacu jukung mereka dengan cara zigzag (kiri-kanan) dan diagonal beberapa kali. Cara ini diistilahkan dengan “ngepal” atau mungkin sama
dengan istilah “malpal” dalam gerak tari. Pada situasi inilah terlihat pemandangan laut yang sangat indah yaitu perbedaan warna alam pagi hari dihiasi iring-iringan perahu layar para nelayan yang menyuguhkan ornament
lukisan alam “Patra”, maka terciptalah tabuh “Patra Ngiring”.
Wayan Citra menambahkan, penampilan kali ini jauh dari sempurna, namun memberi kebanggaan bagi sanggar. Ke depan ia berharap tetap mendapatkan kesempatan untuk tampil di ajang PKB, dan membawa nama Kabupaten Badung.
Hal senada disampaikan Pembina Rekontruksi Gamelan Tua, I Wayan Sutha. “Saya berharap pada PKB 2024, bisa kembali tampil dan mendapatkan kepercayaan untuk mempersembahkan kesenian dari Desa Adat Tanjung Benoa, ” ucapnya.
Rasa bangga juga disampikan Ketua Panitia Rekonstruksi Gamelan Tua, Banjar Anyar, Desa Adat Tanjung Benoa, I Nyoman Weta. Diakuinya, penampilan kali ini belum sempurna sekali. Dia berharap, jika kelak diberikan kesempatan lagi, pihaknya bisa tampil lebih baik. (a/115)