Mulai Ditinggalkan Media, Berita Kisah Tetap Harus Ada

picsart 23 07 29 16 40 51 179
DISKUSI - Diskusi Pojok Media menghadirkan Gde Aryantha Soethama dan Rofiqi Hasan. Diskusi ini diikuti kalangan wartawan, mahasiswa di Gedung Perpustakaan Taman Budaya Bali, Jumat (28/7/2023).

BERAWAL dari keprihatinan akan kondisi media massa dan jurnalistik di Bali belakangan ini, Kelompok Wartawan Budaya Bali menggelar diskusi tentang berita kisah (feature) dengan topik “Reportase Jurnalisme Kultural, Berita Kisah: Antara Ada dan Tiada”, yang diselenggarakan di Beranda Pustaka Gedung Perpustakaan Widya Kusuma, Taman Budaya Provinsi Bali, Jumat (28/7/2023) sore.

Diskusi yang merupakan salah satu mata acara Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2023 itu menghadirkan narasumber wartawan senior sekaligus sastrawan Gde Aryantha Soethama dan Rofiqi Hasan. Sedangkan jurnalis Luh De Suriyani didapuk sebagai moderator.

Made Sujaya selaku panitia diskusi, mengatakan bahwa diskusi ini bukan satu-satunya mata acara Kelompok Wartawan Kebudayaan Bali. “Selain diskusi ini, kami juga menggelar diskusi tentang fotografi jurnalistik vs foto medsos dan pementasan drama teater ‘Nguber Berita ka Nusa’ di Kalangan Ayodya,” katanya.

Baca juga :  Pegawai Tambang asal Australia Dipastikan Tewas Bukan Akibat Corona

Dalam diskusi tersebut, Rofiqi Hasan yang diminta menyampaikan materi terlebih daluhu, bertanya tentang penting atau tidak berita kisah. Sebelum ada yang menjawabnya, dia menjawab sendiri dan mengatakan bahwa hari ini posisi berita kisah seolah tidak penting.
“Hari ini, media mengejar kecepatan dan sensasional. Wartawan dalam posisi tertekan karena target menulis berita. Oleh karena itu berita kisah perlahan ditinggalkan,” kata Rofiqi.

Apa yang dikatakan Rofiqi benar adanya. Banyak media massa sekarang justru mengekor logika media sosial. Media massa ikut-ikutan “genit” dengan memuat berita-berita yang memiliki muatan viral, sensasional, dengan judul-judul bombastis untuk menarik pembaca. “Ada degradasi nilai di sini,” ujarnya.

Baca juga :  Badung Antisipasi Ledakan Perselisihan Hubungan Industrial

Menurut Rofiqi, berita kisah sudah kehilangan fungsinya. Dulu berita kisah bisa menjadi ukuran kredibelitas media. Sekarang justru banyak media yang meninggalkan berita kisah, tak memberi ruang feature sehalaman pun. “Akibatnya, wartawan-wartawan hari ini kehilangan sentuhan dalam menulis berita kisah,” imbuhnya.

Sementara itu, Gde Aryantha Soethama mengungkapkan bahwa pada awalnya berita hanya menulis orang-orang besar. Orang-orang kecil tidak pernah menjadi bahan pemberitaan. Padahal, lanjutnya, masyarakat perlu mengetahui kehidupan orang-orang kecil.
“Karena itulah muncul istilah berita kisah dengan mengambil sisi kemanusiaan orang-orang kecil. Tapi, apakah orang-orang besar tidak bisa ditulis menjadi berita kisah? Ya tentu sangat bisa,” ucap Aryantha Soethama.

Sama seperti Rofiqi Hasan, Aryantha Soethama juga mempertanyakan apakah masyarakat masih perlu berita kisah atau tidak. Dan dia menjawab perlu. “Berita kisah harus tetap ada,” tegasnya.
Terkait dengan menulis berita kisah, Aryantha Soethama mengatakan, ada dua aspek penting dalam berita kisah, yaitu sisi kemanusiaan dan teknis berkisah. Dua hal itulah menurut Soethama, yang dapat menjadikan berita kisah itu menarik untuk dibaca. “Berita kisah itu seperti cerpen, tapi fakta. Teknik menulis sastra sangat penting sebagai modal menulis berita kisah,” imbuhnya.

Baca juga :  Di Desa Selat, Vaksinasi Sasar 1.002 Orang

Sebelum mengakhiri diskusi, Aryantha Soethama menegaskan, feature itu fakta dan merupakan karya jurnalistik, berbeda dengan tulisan story talling. Dan dalam berita kisah, menurutnya, terdapat bandul yang bergerak ke kanan dan ke kiri tapi tidak melebihi batas. “Menulis berita kisah itu harus fokus, tidak boleh ngalor-ngidul,” tandasnya. (dwa)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini