Singaraja, DENPOST.id
Kabupaten Buleleng dengan 148 desa dan kelurahan memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Sektor pertanian dan perkebunan merupakan sektor unggulan dalam menopang ekonomi masyarakat Buleleng. Dengan tagline “one product one village” tentu banyak hal yang bisa digali.
Desa Lokapaksa yang terletak di Kecamatan Seririt misalnya. Dengan luas wilayah sekitar 2.884 hektar, tercatat hampir seperempat lahannya atau sekitar 858,991 hektar saat ini berstatus lahan kering. Namun siapa sangka lahan kering di desa yang terdiri dari 9 banjar dinas ini bisa dijadikan ladang pertanian yang bisa hasilkan omzet puluhan juta rupiah sebulan.
Adalah I Gusti Bagus Sumertana (61), yang kini telah sukses menyulap 1 hektar lahan kering miliknya menjadi kebun kelor beromzet puluhan juta rupiah per bulan. Ditemui di kediamannya di Lokapaksa, Minggu (10/8/2023), ia menceritakan awal mula dirinya tertarik menanam kelor dan mengolahnya menjadi beberapa produk kesehatan herbal.
Kala itu, sekitar tahun 1998 banyak warga meninggal dunia karena tidak mampu berobat, apalagi saat itu untuk biaya berobat juga mahal. Kemudian muncul rasa penasaran yang besar untuk mempelajari pengetahuan tentang obat-obatan herbal, sebab dirinya menilai obat-obatan kimia harganya cukup mahal.
Akhirnya pria yang merupakan warga asli dari Banjar Bukit Sakti ini antusias untuk mengikuti berbagai seminar. Sekitar tahun 2010, dia akhirnya mengenal bagaimana manfaat besar tanaman kelor.
“Tapi saat itu saya tidak langsung menanam, dan sekitar tahun 2013 saya justru memilih untuk bekerja terlebih dahulu di Desa Pelaga, Badung untuk mendapatkan pengetahuan lebih di dunia agribisnis. Sampai akhirnya banyak ketemu orang, lalu sekitar 2018 saya memutuskan untuk berhenti bekerja. Saat itu posisi saya sebagai Agro Manager,” tutur Bagus sambil menunjuk foto saat dirinya masih bekerja di Agro Wisata Pelaga.
Dengan pengalaman yang dimiliki, usai memutuskan berhenti dari pekerjaannya, ia pun menyadari jika lahan yang ada di kampung halamannya ternyata bagus untuk ditanami kelor. Akhirnya, bermodalkan uang sekitar Rp 1 jutaan, pria yang pernah juga menjadi akuntan selama 5 tahun ini membeli sebanyak dua kilogram biji kelor dengan harga 600 ribu dan sisanya dibelikan pupuk organik yang akan dipakai merawat pohon kelor agar bisa tetap tumbuh.
Setelah mendapatkan biji kelor berkualitas, dia pun mulai melakukan penyemaian biji selama dua minggu. Delapan minggu kemudian bibit kelor sudah bisa ditanam sambil dipangkas sedikit untuk memperkuat batang. Lalu untuk proses penanaman, disiapkan lubang dengan ukuran 30×30 centimeter dan di tengah diperdalam lagi untuk membuat akar tunggang semakin kokoh.
“Usai lubang siap, supaya pertumbuhan pohon kelor lebih bagus maka sebaiknya disiram sedikit menggunakan air laut karena mengandung mineral. Kemudian sesudah disiram air laut, disiram memakai bio-urine dan terakhir diisi adukan tanah yang sudah dicampur dengan Trichoderma untuk mempercepat pertumbuhan pohon kelor,” paparnya.
Dia menambahkan, agar tanaman kelor tambah bagus, disarankan menanam bulan Desember, sehingga pada bulan Maret sudah bisa dipanen.
Dikatakan pula, untuk panen kedua dan seterusnya waktunya hanya berselang 35 hari, sehingga dalam setahun bisa 10 kali panen. “Kalau hama saya kira tidak begitu sulit menangani. Paling hamanya ulat pemakan daun dan rayap. Kalau ulat kita biarkan saja toh nanti jadi kepompong, tapi kalau mengusir rayap kita punya caranya dan tanpa merusak atau membunuh rayapnya,” jelas pria yang pernah bekerja di perusahaan ekspor dan impor ini.
Dalam sekali panen, kata Bagus Sumertana, rata-rata mencapai 500 kilogram dengan kondisi daun masih basah dan sudah dipisahkan dari tangkainya. Harga per kilo mencapai Rp 6 ribuan. Sedangkan untuk daun kelor kering harga per kilo mencapai Rp 75 ribuan. Hasil panennya kini juga diolah menjadi tiga produk kemasan berkhasiat untuk kesehatan dan kecantikan dengan harga sesuai netto. Ketiga produk itu yakni Serbuk Kelor Original, Kopi Jahe Kelor, Teh Hijau Kelor dengan merk AJI MORINGA.
Dari ketiga produk ini, dalam sebulan omset penjualan Bagus mencapai Rp 7,5 sampai Rp 10 jutaan. Bahkan, Bagus menyebut penjualan saat pandemi sampai sekarang terus meningkat, khususnya untuk produk Kopi Jahe Kelor. Peminatnya juga kebanyakan dari Jakarta.
Meski demikian, dia mengaku masih memiliki sejumlah kendala dalam proses pengembangan produknya. Di antaranya permodalan dan bahan baku yang minim, lantaran masih jarang orang yang membudidayakan kelor. Meski dirinya memiliki kelompok tani yang menanam kelor di desanya, namun menurutnya masih belum cukup, sehingga jika kekurangan bahan, ia harus mencari ke luar Buleleng agar bisa memenuhi permintaan konsumen.
“Kalau soal persaingan harga itu bukan kendala bagi saya, apalagi ada yang menjadi pembeda dari produk saya dengan produk lainnya yang dijual oleh pesaing. Kendalanya yang paling terasa tentu di bahan baku untuk bisa memenuhi permintaan pasar. Jadi harapan kita nanti tanah-tanah kering di Buleleng bisa ditanami kelor, apalagi untuk manfaatnya banyak sekali,” pungkasnya. (118)