
Tragedi kemanusiaan yang menghebohkan dunia yakni ledakan bom teroris di Kuta, Badung, pada 12 Oktober 2002, rupanya tak serta-merta sirna dari benak Dewa Ketut Rudita Widya Putra. Pria asal Sukasada, Buleleng, yang kini menekui usaha kuliner di Denpasar ini adalah salah satu dari ratusan korban bom yang selamat. Bertepatan dengan peringatan ledakan bom di Legian pada Kamis (12/10/2023), Dechi—begitu sapaan akrabnya—mengingatkan kita bahwa tragedi itu bisa terjadi di mana dan kapan saja.
KETIKA mengungkapkan pengalaman pahitnya kepada DenPost.id, Rabu (11/10/2023), Dechi secara detail menceritakan betapa mengerikannya kejadian pada malam minggu tahun 2002 sekitar pukul 23.15 itu. Dia mengaku seakan tak percaya jika ledakan yang begitu dahsyat tersebut berasal dari bom rakitan Amrozy dan kawan-kawan. ‘’Awalnya saya mengira ledakan gardu listrik,’’ ujar Dechi, sambil meraba tangan kirinya yang sempat terluka parah akibat dampak bom.
Dia menceritakan awal tragedi tersebut yakni pada Sabtu (12/10/2002) malam. Dechi waktu itu baru saja menghadiri undangan teman kantornya di Legian, Kuta. Saat itu dia naik satu mobil bersama tiga teman sekantor pula. Dechi duduk di samping sopir, sedangkan satu tamannya lagi duduk di jok belakang. Selain itu, ada teman mereka yang naik mobil lain, namun melaju lebih duluan.
Suasana pada malam minggu di Jalan.Legian, Kuta, tersebut memang hiruk-pikuk. Maklum Kuta saat itu adalah kampungnya turis internasional, karena di sana banyak ada tempat dugem. Saat mobil Dechi melaju, sepanjang Jalan Legian lumayan macet. Bahkan mobilnya sempat tertahan sekitar 30 menit. Mendekati tempat dugem Sari Club (SC), suasana bertambah ramai sebab wisman yang bermalam mingguan membeludak. Jalan dan trotoar di depan SC begitu padat, sehingga mobil Dechi terhenti. Saat itu jam menunjukkan pukul 23.15. Tiba-tiba terdengar ledakan keras dari Paddy’s Café. Listrik seketika padam, sehingga suasana gelap-gulita. Saat itu juga para tamu di SC Club bertepuk tangan kegirangan. Mereka rupanya mengira ada pesta besar di Paddy’s Club. Namun beberapa detik kemudian, tepatnya pukul 23.17, bom kedua meledak di SC Club.
Dechi yang berada di mobil, hanya beberapa meter dari sumber ledakan, terhenyak. Saat terjadi ledakan keras, dia merasakan mobil yang dinaikinya terangkat beberapa meter. Otomatis penumpang terlindungi bodi mobil, sehingga ketiganya selamat dari maut. Dechi belum percaya kalau itu ledakan bom. Dia mengira ledakan itu berasal dari gardu listrik di samping mobilnya. Yang jelas saat itu dia berada di bawah dashboard, dan tangan kirinya terjepit pintu mobil. ‘’Saat itu tangan saya seperti mateng,’’ tegas tamatan Program Studi Seni Rupa dan Desain (PSSRD), Unud, jurusan Desain Grafis ini (kini ISI Bali).
Dechi dan kedua temannya terluka parah akibat dampak bom dan kena pecahan kaca mobil. Pakaian mereka compang-camping dan beberapa bagian tubuh melepuh. Walau demikian, ketiganya masih sadar, sehingga segera menyelamatkan diri masing-masing. Namun Dechi sempat kesulitan keluar dari pintu samping kiri mobil, sehingga dia mencari jalan keluar lewat pintu kanan. Sedangkan kedua temannya sudah lebih dulu keluar. Antara sadar dan tidak sadar, dia berlari melawan arus ke arah belakang mobil (utara) Jalan Legian untuk menjauh dari sumber bom. Sekitar 20 meter beranjak, dia ditenangkan oleh seorang ibu di pinggir jalan. Dia didudukkan dan diberi air minum agar tenang. Dechi sempat ingi menghubingi sang istri dengan meminjam HP milik ibu tersebut, namun ternyata HP-nya tak berisi pulsa. Walau demikian Dechi sempat bertanya kepada ibu itu perihal apa gerangan yang terjadi. Si ibu bilang bahwa baru saja terjadi ledakan bom.
Beberapa menit kemudian, Dechi dinaikkan warga ke mobil Taft yang berisi tulisan ‘’Pemuda Kuta’’, untuk dilarikan ke RSUP Sanglah (sekarang RSUP Prof.Ngoerah) di Sanglah, Denpasar. Dia bersama tiga korban bom lainnya berada dalam satu mobil penolong. Mereka semuanya selamat.
Singkat cerita, Dechi tiba di RSUP untuk ditangani di sana. Bersamaan dengan itu, di RS ternyata sudah banyak korban bergelimpangan, mungkin ada yang meninggal atau ada yang selamat.
Saat di RS, Dechi sempat kritis dan mengenakan pacu jantung, akibat kehabisan darah. Dia baru sadar pada hari ketiga. Di hidungnya ada selang dan di tangannya ada jarum infus.
Dirawat di RSUP Prof.Ngoerah selama 24 hari untuk penanganan luka bakar (32%), kondisi Dechi membaik. Namun dia merasakan mata kirinya kabur akibat kena pecahan kaca mobil. Pada hari hari ke-20 dia memang sempat operasi mata, namun tak kunjung membaik. Matanya malah tak bisa melihat dengan jelas dan sakit. Dechi lalu dirujuk ke RSCM di Jakarta, namun pasien penuh, sehingga tak ada ruangan. Selanjutnya dia dirujuk ke RS khusus mata di Jakarta dan sempat ditangani dokter ahli mata.
Tetapi kondisi matanya tak juga membaik. Bersyukur, ada relawan yang mendatanginya untuk diajak merawat mata di Australia. Ditemani sang istri, Dechi segera berobat di sana. Hanya berselang sehari ditangani dokter di Negeri Kanguru, mata Dechi akhirnya membaik.
Kendati tragedi kemanusiaan itu sudah sekian puluh tahun berlalu, ternyata Dechi tak dapat melupakannya begitu saja. Kejadian itu masih saja tergiang di benaknya, terutama ketika dia terjebak kemacetan di jalan. Dia trauma sehingga keringat dinginnya tiba-tiba mengucur, padahal dia sudah berusaha tenang. ‘’Kalau sudah masuk keramaian dan macet di jalan, tiba-tiba saya kaget. Saat itulah saya lebih baik berhenti,’’ tegas Dechi, sambil mengaku bahwa sampai kini dia belum pernah ke Kuta menengok lokasi bekas bom.
Mengenai kasus bom ini, Dechi mengaku perlu kepedulian dan kerjasama masyarakat menjaga lingkungan masing-masing. Dengan sistem banjar, sejatinya pengamanan Bali sudah sangat bagus. Pengawasan terhadap pendatang juga lebih ketat.
Mengantisipasi kejadian serupa, Dechi berharap agar paham-paham radikal jangan diberi panggung lagi, terutama di medsos. Pun pada pemilu mendatang, dia berpesan agar masyarakat memilihn pemimpin yang betul-betul peduli rakyat dan kemajuan bangsa. ‘’Jangan sekali-sekali kita memberi peluang terhadap paham-paham radikal,’’ tandasnya. (yad)