BICARA tentang anak dan perempuan di negara kita, sejak dulu dijadikan makhluk nomor dua. Hal itu karena memang pola asuh kepada anak-anak sejak dini oleh para leluhur. ‘’Perempuan, anak, atau istri, harus hormat atau tunduk kepada suami. Kalau tidak tunduk berarti berkhianat. Ini seperti doktrin. Jika perempuan patuh sama suami maka akan masuk surga,’’ ujar aktivis/pemerhati perempuan dan anak Siti Sapurah.
Dia menambahkan bahwa anak dan perempuan juga harus hormat, patuh, dan bicara lembut sama kakak atau suami. Sedangkan laki-laki, tambah wanita yang akrab disapa Ipung ini, saat masa kanak-kanak dahulu bahwasanya diberi mainan pistol atau pesawat. Dalam hal ini laki-laki dididik menggunakan strategi perang atau membela diri. Kaum laki-laki kalau dipukul, maka harus melawan. Beda lagi kalau anak perempuan, tambah Ipung, sering diberi sapu, kompor atau panci. Akhirnya dalam doktrin di otak mereka sejak orok, hanya ada kasur atau dapur. ‘’Inilah ketimpangan pola asuh kita sejak dahulu sampai kini,’’ ungkapnya.
Ketika ditanya kenapa anak dan perempuan sering menjadi korban kekerasan seks atau mengalami pelecahan, Ipung menjawab karena mereka masih kecil, lemah, tak bisa melawan, tak mampu bela diri dan tak dapat menolak. ‘’Secara fisik mereka lemah dan tidak paham hukum. Apalagi yang melakukan itu saudara dekat atau kerabatnya,’’ tegas Ipung.
Untuk ke depan, dia berharap agar perempuan jangan dijadikan korban kekerasan atau pelecehan seks lagi. Hal itu bisa dilakukan dengan menyamakan kedudukan antara laki-laki dan wanita. Kalaupun masih ada laki-laki yang melecehkan wanita, maka hukumannya sangat berat.
Lebih dari itu, masyarakat sekarang punya standar moral yang bisa dijadikan acuan. Kalaupun ada laki-laki yang melihat perempuan berpakaian seksi, misalnya, maka kewajibannya-lah memberi nasihat agar perempuan itu berpakaian sopan. Hal itu tentu saja untuk menghindari pelecehan atau kekerasan seks.
Ipung juga menyoroti penanganan kasus pelecehan atau kekerasan seks terhadap perempuan di Indonesia oleh aparat penegak hukum, khususnya polisi, selama ini. Menurut dia, ada polisi yang menanyakan keberadaan saksi atau rekaman dalam suatu kasus kekerasan seks. Padahal dalam penanganannya yang dibutuhkan hanyalah alat bukti dan keterangan saksi korban (korban), termasuk visum.
‘’Pemahaman penegak hukum kita terhadap undang-undang yang sudah paten ini terkadang tidak nyambung. Cotohnya mencari saksi di luar korban,’’ sodok Ipung.
Dia juga sangat prihatin mengenai kejahatan seks yang semakin marak dan menggila. Hal itu disebabkan berbagai faktor, termasuk meningkatnya kasadaran korban untuk melapor ke polisi. (yad)—-CEK VIDEONYA DI: https://www.youtube.com/watch?v=2i094vO7CdI